Jumat, 15 Juli 2011

MEMBANGUN MASYARAKAT BERADAB (MADANI) MENJEMPUT ISLAM MASA DEPAN

Oleh: Dr. H. Ahmad Syafi’i Mufid, APU
Mukadimah
Seperempat abad sudah umat Islam melewati abad 15 yang awalnya dipandang sebagai kebangkitan kembali Islam. Berharap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan lantaran petro dolar, umat Islam di mana-mana justru semakin terpinggirkan dan mengkhawatirkan. Hampir tidak ada prestasi yang membanggakan, padahal pada awal abad baru umat Islam diharapkan dapat memberikan andil yang besar dalam menghadapi krisis global dengan akibat-akibat yang tak terbayangkan seperti; terorisme, krisis ekonomi, pencemaran lingkungan hidup dan krisis moralitas.
Situasi internal umat Islam juga amat memprihatinkan, dimulai dari krisis epistemologis, yakni memudarnya kesadaran umat untuk memahami ajaran-ajaran normatif secara kontekstual. Menghadapi perubahan-perubahan yang amat cepat, umat masih menyandarkan diri pada beban sejarah masa lalu. Seolah-olah masa kini dan masa depan tidak menyediakan jawaban bagi persoalan yang dihadapi. Karena itu cendekiawan muslim seperti Muhammad Arkoun, M. Abid Al Jabiri atau Hasan Hanafi, mengindentifikasi krisis kesadaran ini sebagai kegagalan memaknai Islam secara autentik. Dengan kata lain umat Islam gagal merespons perubahan dengan berangkat dari ajaran Islam yang substantif dan pengalaman kebudayaan Islam sendiri[1]. Padahal, konsep dan ajaran Islam baik secara teologis maupun metodologis masih tetap memiliki relevansi untuk menjawab dan memecahkan masalah. Ijtihad atau rethinking ajaran Islam dengan cara memahami sumber-sumber autentik Islam dan mendialogkannya dengan perubahan-perunahan niscaya dapat mengintrodusir konsep, asumsi, hipotesa dan teori baru tentang Islam[2].
Umat Islam yang sekarang sedang sakit, dimasukkan ke rumah sakit peradaban Barat untuk minta disembuhkan. Tetapi disembuhkan dari penyakit apa dan dengan obat apa? Sungguh sebuah pernyataan dan pertanyaan yang sangat tepat dan sekaligus kritik terhadap para pengikut setia pengagum pandangan hidup dan sekaligus gaya hidup Barat.[3] Penyakit itu bernama kebodohan dan kemiskinan, tetapi fakta tersebut diletakkan dalam kerangka teologis. Penyakit tersebut tidak mungkin disembuhkan dengan sekularisasi, tidak pula dengan humanisme atau isme-isme yang lain. Oleh karena itu, obat yang diperlukan adalah bersifat teologis untuk membangun kembali pendidikan dan ekonomi umat, yakni konsep Islam yang bersumber kepada ajaran, wahyu dan ra’yu. Membangun kembali peradaban Islam mesti berangkat dari paradigma dan model ideal realitas sosial dan idealisme wahyu dan ra’yu tersebut.
Negara Madinah Sebagai Model
Rekonstruksi peradaban Islam sudah selayaknya dimulai dengan mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan peradaban itu? Peradaban Islam kontemporer adalah multiumat, tidak seperti yang digambarkan oleh fiqh masa lalu. Umat non muslim menjadi bagian dari komunitas dan bukan sebagai “the others”. Mengapa? Umat beragama menghadapi problema yang sama, runtuhnya sendi-sendi moralitas dan kemanusiaan. Pendekatan yang bersifat dialogis dan inklusif menjadi norma dan kebutuhan bersama sehingga Islam tidak lagi berhadapan dengan masalah eklusivisme dan tembok-tembok penghalang komunikasi global. Inklusifisme dan respek terhadap pluralitas seperti ini menjadi satu-satunya cara umat Islam untuk tetap survive di masa depan. Proposisi ini bukan baru, ada referensi dan contoh bagaimana komunitas inklusif ini dibangun. Nabi Muhammad SAW melakukan hal yang sama, kita kenal sebagai sebuah model negara Madinah.
Negara Madinah sebagai sebuah prototype yang dilahirkan bukan terlahir dengan sendirinya. Ia adalah sebuah perjuangan, dialogis anatara wahyu dan ra’yu. Dimulai dengan penerimaan untuk para migran (muhajirun) oleh penduduk setempat (anshor), dibangunlah kesadaran kolektif (persaudaraan). Kesadaran inilah yang melahirkan konsep jamaah dan imamah menjadi landasan bangunan Negara kota (Madinah) yang semula bernama Yastrib. Kota kecil ini tidak hanya dihuni oleh etnik Arab, orang Yahudi juga telah lama berdomisili di sini, karenanya mereka juga terlibat dalam penataan banguan sosial, budaya, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Demikianlah, Madinah adalah sebuah model bangunan ideal untuk sebuah kota atau negara peradaban yang sudah tentu layak dijadikan acuan untuk menggagas masa depan.
Setelah kesadaran kolektif terbentuk, Rasulullah sebagai pemimpin Madinah mulai mengatur sistem ekonomi yang berkeadilan. Pasar dibangun untuk semua, tidak ada monopoli dan tidak ada hurur. Produsen dan pedagang sangat dihargai sebagai profesi yang terbaik (kasbu al atyab). Mereka yang tidak bermodal, hanya memiliki tenaga, memiliki probabilitas memperoleh keuntungan, tidak hanya sekedar upah buruh. Mobilitas sosial sangat terbuka, ada konsep dan praktik mudharabah, musyarakah bahkan muzaraah. Pendidikan juga sangat diperhatikan, sebagian tawanan perang yang mampu membaca dan menulis, dimobilisir untuk pendidikan. Perintah membaca, belajar dan berkelana untuk mencari ilmu (saih) menjadi kewajiban setiap muslim, hingga ke Negara yang amat jauh (Shin atau Cina). Faktor kepemimpinan, kejamaahan, ekonomi dan pendidikan ini yang mengantarkan umat Islam membangun peradaban hingga sampai ke puncaknya.
Kalau abad 7 disebut sebagai abad pencerahan Arab (Islam), maka abad ke 8 hingga abad ke 12 merupakan pucak peradaban Islam. Kemunduran terjadi mulai pada paruh kedua abad 12, karena semangat syari’at (metode) seperti di atas sudah tidak ada. Umat sudah terpecah, solidaritas tidak ada lagi, keadilan dan akhlak mulia tergadaikan oleh para penguasa. Ijtihad atau rethinking dianggap tabu dan faham jabariyah (fatalisme) merasuki dada setiap muslim. Bangunan peradaban muslim runtuh, kota-kota pusat peradaban dijarah, dan kaum muslim dibantai, diusir atau dipaksa pindah agama.[4] Orang Eropa tidak merasa cukup mengusir muslimin dari semenanjung Iberia, tetapi memburunya hingga sampai ke Philipina dan menyisakan istilah Moro (orang-orang Moor yang beragama Islam) hingga sekarang. Setelah diburu, negeri-negeri muslim diduduki, dikuras sumber daya ekonomi dan diputar orientasi dan pandangan hidup mereka mengikuti cara berfikir dan pandangan Barat. Kejadian tersebut masih berlangsung hingga sekarang, dan istilah globalisasi pada hakekatnya adalah sebuah dominasi alias penjajahan.
Islam: Peradaban Kontemporer
Kita yang berteriak kencang ketika pornografi dan pornoaksi melanda media massa. Sebagian kita bahkan mencoba melakukan gerakan perlawanan dan kalau perlu adu fisik. Apa yang terjadi? Islam kemudian distigmatisasi sebagai agama “kekerasan”, radikal dan bahkan “teroris”. Para sarjana dan ulama telah lama mengumandangkan dalil Islam sudah lengkap sebagai pandangan hidup (way of life), sebagai solusi (way out) dan integralitas Islam melebihi segalanya. Peradaban Islam tidak akan pernah dapat menyaingi peradaban Barat apalagi mengungguli jika hanya puas dengan apologi dan membanggakan sejarah masa lalu.
Umat Islam perlu membangun epistemology, methodology dan aksi. Dimulai dengan pembacaan kondisi umat, konseptualisasi dan teorisasi kemudian uji coba hipotesa. Metode dan teknik-teknik tertentu untuk membuktikan teori atau gagasan. Jika benar, coba lagi dipraktikan dan kemudian diabstraksikan kembali sehingga hasilnya dapat disebarluaskan kepada komunitas penduduk yang lebih luas. Sebagai contoh bagaimana kita dapat menggeser tayangan media massa berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi kalau kita tidak menyediakan gantinya yang lebih baik dalam pengertian substansi dan metodologi[5]?
Pornografi adalah hasil sebuah cara pandang dan ilmu pengetahuan-teknologi. Antitesanya tentu teologi dan akhlak untuk melawan cara pandang yang naïf tersebut, tetapi dalil teologi dan moralitas saja tidak cukup. Kita masih perlu ilmu pengetahuan dan teknologi tentang dunia hiburan. Bagaimana memahami keinginan rasa ingin tahu nan indah, bagaimana syari’at mengajarkannya dan selanjutnya cara pengemasannya dalam bentuk teknologi komunikasi seperti apa? Di sini, kita harus mencari formulasi penerapan syari’at dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi persoalan epistemogi menjadi sangat mendasar, dimulai dengan pendifinisian masalah umat. Mencari tahu sebab-sebab kemunduran umat, lokal maupun global, mencari solusi (hipotesa), diuji dan jawab hipotesa tersebut dalam bentuk eksperimen, perbaiki kesalahan, sempurnakan kekurangan dan akhirnya dibangun sebuah teori dan paradigma baru. Inilah yang saya maksudkan dengan dialog antara syari’ah dengan konteks. Masyarakat dunia sekarang sudah mulai “melek” syariah, meski terbatas pada perbankan. Insya Allah, ekonomi syari’ah akan ditengok, karena ekonomi konvensional tidak lagi dapat memberikan jaminan keadilan. Kalau masalah ekonomi sudah diterima, konsep syari’ah yang lain, juga akan diterima pula.
Dari mana memulai membangun peradaban Islam kontemporer? Sebuah pertanyaan yang tidak sederhana. Peradaban adalah himpunan faktor, baik yang bersifat materi maupun non materi, yang memberi kemampuan kepada suatu masyarakat tertentu untuk memberikan jaminan social kepada seluruh anggota masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan diri[6]. Ia adalah produk pemikirian yang mengkristal. Dimulai dari pemenuhan hasrat ingit tahu (menghasilkan pengetahuan), sistematisasi pengetahuan (menjadi ilmu pengetahuan), penerapan ilmu pengetahuan (teknologi), menghasilkan produksi (industri), perlu pemasaran (informasi/komukikasi) perlu etika dan moral (agama) dan tanggung jawab kepada diri sendiri serta kepada Allah.
Pra peradaban
Masa
kemunduran

Wahyu dan ra’yu
Masa kebangkitan

Puncak peradaban
Masa kejayaan kembali.
Problem sosiologis umat adalah ukhuwah dan leadership. Ada banyak bukti sukses mengatasi problema tersebut untuk komunitas terbatas, dan kegagalan untuk tingkat komunitas Negara. Kisah sukses umumnya dimulai dari yang kecil, skala mikro untuk program dan lokalitas untuk kewilayahan. Bisa dicoba dan dimulai dari masjid (ingat sunnah Nabi), dengan membangun model jiwa kejamaahan. Gabungkan kepentingan ibadah ritual dengan ibadah sosial, jalin komunikasi dan kerjasama dengan tokoh masyarakat di tingkat RT dan RW. Rumuskan action plan, laksanakan upaya perbaikan pendidikan dan ekonomi baru kemudian sektor lainnya.
Proyek rekonstruksi peradaban memerlukan waktu panjang, dan diantara belanja waktu yang perlu dialokasikan adalah tahap penyadaran dan bujukan dalam kerangka membangun mimpi tentang masa depan. Sekali lagi diperlukan teologi dan strategi, komunikasi dan kesabaran menghadapi tantangan yang tidak ringan. Mujahid dakwah menjadi andalan.[7]
Penutup
Peradaban umat Islam sedang berada pada titik nadir. Sementara itu, peradaban Barat semakin jauh dari harapan kemanusiaan yakni kebahagian abadi. Peradaban Barat yang materialistic meminggirkan Tuhan, agama dan kemanusian seutuhnya. Peradaban lainnya, Komunisme, Hinduisme, Bhudisme dan budaya local juga tidak berdaya menghadapi diterminasi Barat. Islam harus bangkit memberikan keseimbangan, jalan tengah menuju cita-cita kemanusiaan sejati melalui membangun kembali peradaban. Dasarnya adalah syari’ah, metodologinya dialog wahyu dan ra’yu, tekniknya ilmu pengetahuan empiric, moralitasnya ukhuwah dan jamaah. Gerakannya berpusat dari masjid, programnya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan.
Pengalaman panjang gerakan dakwah Islamiyah memerlukan pemikiran ulang. Gagasan di atas adalah sekelumit kegelisahan, mudah-mudahan dapat menjadi sedikit bagian dari pemikiran ulang tersebut, Allahu al musta’an ‘ala ma tasifun. Walhamdulillahirabbil ‘alamin.Nasrun minallah wa fathun qariib.
Wallahu A’lam Bishshawab


[1] Lihat Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan: Syari’at Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah. Jakarta, Serambi, 2005 hlm.8.
[2] Bandingkan dengan kritik Arkoun, Rethinnking Islam (Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers). Yogyakarta, LPMI dan Pustaka Pelajar, 1996. hlm 13.
[3] Lihat Malik bin Nabi. Membangun Dunia Baru Islam. (Syuruth Al-Nahdhah) Bandung, Mizan.1994, hlm.69.
[4] Bagdad diserbu oleh tentara Tartar dan dihancurkan pada tahun 1258 M dan Granada kota Islam terakhir di Spanyol direbut oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinan.
[5] Q.S. Al Baqarah (2): 106.
[6] Malik bin Nabi op cit, hlm 173.
[7] Q.S. At Taubah (9): 111-112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar